[1984] Kurikulum 1975 yang Disempurnakan
Sesuai
namanya, kurikulum ini merupakan penyempurnaan dari kurikulum tahun 1975. Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan
pendekatan proses,
tapi faktor tujuan tetap penting. Pada kurikulum ini terjadi pergeseran sudut pandang ada siswa. posisi siswa tidak lagi ditempatkan sebagai objek tetapi sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).
tapi faktor tujuan tetap penting. Pada kurikulum ini terjadi pergeseran sudut pandang ada siswa. posisi siswa tidak lagi ditempatkan sebagai objek tetapi sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).
Tokoh penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984
adalah Profesor Dr. Conny R. Semiawan, Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode
1980-1986 yang juga Rektor IKIP Jakarta — sekarang Universitas Negeri Jakarta —
periode 1984-1992. Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan bagus hasilnya di
sekolah-sekolah yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi saat
diterapkan secara nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan
CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa
berdiskusi, di sana-sini ada tempelan gambar, dan yang menyolok guru tak lagi
mengajar model berceramah. Dari sini muncul berbagai penolakan terhadap CBSA.
[1994] Kurikulum 1994
Kurikulum 1994 bergulir lebih pada upaya memadukan
kurikulum-kurikulum sebelumnya. “Jiwanya ingin mengkombinasikan
antara Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984, antara pendekatan proses,” kata
Mudjito menjelaskan. Sayang, perpaduan tujuan dan proses belum berhasil. Kritik bertebaran,
lantaran beban belajar siswa dinilai terlalu berat. Dari muatan nasional hingga
lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing,
misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Berbagai
kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesakkan agar isu-isu tertentu
masuk dalam kurikulum. Walhasil, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum
super padat. Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998, diikuti kehadiran Suplemen Kurikulum
1999. Tapi perubahannya lebih pada menambal sejumlah materi.
[2004] Kurikulum Berbasis Kompetensi
Kurikulum ini merupakan kurikulum yang berfokus pada
kompetensi atau kemampuan yang harus dikuasai oleh siswa. Pada kurikulum ini
juga mulai dihubungkan antara kemampuan yang dibutuhkan di lapangan kerja
dengan materi pembelajaran, dan menurut saya inilah salah satu aspek positif
dari KBK. Walaupun begitu, KBK masih memiliki kekurangan yaitu metode evaluasi
yang berorientasi pada ujian atau yang dinamakan dengan Ujian Nasional (UN).
Hal ini tidak sesuai karena apabila metode pengajaran yang digunakan adalah
penguasaan kompetensi yang bersifat praktikal, maka metode yang paling sesuai
adalah tes praktek atau tes uraian yang dapat mengukur kompetensi dan pemahaman
siswa, bukannya ujian pilihan ganda seperti yang tampak pada Ujian Nasional.
Kurang pahamnya guru terhadap kompetensi yang diinginkan oleh kurikulum juga
turut mengakibatkan kurikulum ini dinilai tidak memuaskan pada masa
percobaannya.
[2006] Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
KTSP merupakan pengembangan dari KBK yang masih
memiliki kekurangan. Pengembangan yang paling mencolok ialah kebijakan
desentralisasi, yaitu adanya kebebasan bagi sekolah untuk mengembangkan
kurikulum berdasarkan potensi masing-masing daerahnya. Menurut saya ini
merupakan hal positif, dikarenakan keadaan Indonesia yang terdiri dari berbagai
wilayah yang berbeda karakteristik daerahnya. Siswa di Aceh dapat memperdalam
ilmu tentang kelautan yang memang menjadi potensi daerahnya. Siswa di papua
dapat memperdalam ilmu yang beorientasi pada penguasaan alam. Hal ini tentunya
positif. Akan tetapi karangka dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL),
standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) setiap mata pelajaran untuk
setiap satuan pendidikan telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional.
Jadi pengambangan perangkat pembelajaran, seperti silabus dan sistem penilaian
merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah koordinasi dan
supervisi pemerintah Kabupaten/Kota. Sehingga tetap ada pedoman secara menyeluruh.
Faktanya, untuk menyusun silabus mata pelajaran yang
ideal guru harus bekerja ekstra keras dalam menyusunnya. Disisi lain, kurangnya
pelatihan mengakibatkan tidak semua guru memiiki kompetensi untuk menyusun
silabus dengan baik. Sebagian guru dapat menyusun silabus yang cukup baik, sebagian
lain tidak mampu sehingga mengambil jalan pintas dengan membeli silabus dari
guru lain. Hal ini tentu bukanlah keputusan yang bijak karena yang memahami
keadaan siswanya adalah guru yang bersangkutan. Sebagian guru lain juga terlalu
bingung untuk berbuat sehingga pada akhirnya tidak melakukan apa-apa. Hingga
pada akhirnya, perlu dilakukan pelatihan guru secara gencar dan intensif untuk
mensukseskan KTSP ini
“Untuk memperoleh pengetahuan, orang harus belajar, tapi untuk memperoleh kebijaksanaan, kita harus mengamati”
-Marilyn Vos Savant-
0 comments:
Post a Comment